menjelang pilpres
Menuju PILPRES
Sudah sehatkah akal budi kita?
Menjelang Pemilu serentak 2019 mendatang berbagai macam persiapan dilakukan oleh banyak partai politik (Parpol) dalam usaha memenangkan pertandingan final menuju kursi kekuasaan sebagai Presiden RI lima tahunan.
Agaknya pemerintah hanya sibuk mempersiapkan urusan parpol mereka masing-masing tanpa peduli nasib warganya berada di tengah dua arus besar politik yang saling bertolak belakang serta saling menjatuhkan.
Bukan suatu perkara mudah tentunya dalam menetralkan suasana politik di Indonesia yang kian hari tampak meresahkan dalam upaya membangun kesadaran terbentuknya masyarakat warga (civil society) di setiap lini masa. Terlebih di sosial media, dengan jumlah pengguna Internet yang besar dan persebaran berita yang begitu masif, tak sedikit pula masalah yang harus kita hadapi bersama akibat kurangnya filterisasi informasi yang kita konsumsi setiap hari dapat mengundang terjadinya perang urat saraf.
Motif agama yang begitu sentimentil masih banyak diangkat dalam media sosial sebagai kekuatan yang cukup potensial. Salah satu gejala yang muncul pasca Perang Dunia II berakhir hingga kini adalah beralihnya perang atas nama negara (nation state) menjadi perang atas nama agama. Kemampuan kita untuk sekedar berpikir rasional telah diganti dengan berpikir emosional.
Hampir di setiap agama dan keyakinan manapun mengajarkan supaya bisa menggunakan akal nuraninya dalam kehidupan sehari-hari. Terkait siapa orang yang berakal tersebut Alquran menjelaskannya dalam Q.S. 3:191 “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi”. Ayat tersebut disampaikan kepada seluruh umat manusia supaya sadar dan bisa berpikir saat mulai terjaga dari tidurnya sampai akhir menutup mata.
Untuk mengenali ukuran rasionalitas tersebut bisa dilihat dari bentuk tindakan kita bisa diterima oleh akal sehat secara universal. Ke depan aspek rasionalitas akan menjadi penentu sikap bijak bajiknya seseorang di tengah derasnya arus transformasi informasi dari berbagai macam media dalam perangkat gadget kita.
Terkadang, narasi agama memang perlu digunakan sebagai aspek perubahan sejarah umat manusia menuju ke arah lebih baik secara evolutif maupun revolusioner. Akan tetapi, dosis agama tentulah ada kadar atau takarannya, tidak bisa asal sembarang pakai tanpa anjuran dosis yang telah ditetapkan. Mungkin ada benarnya apa yang disampaikan oleh Jalaludin Rakhmat dalam mendiagnosa kondisi sosial kita saat ini tengah mengalami “overdosis” keagamaan.
Dalam diagnosis tersebut, agama secara tidak langsung telah berubah menjadi sebuah ideologi politik dan perilaku hidup secara radikal. Artinya, pemahaman keagamaan yang radikal bisa berpretensi untuk meninggalkan makna agama secara esensial sebagai re-ligio (kembali mengingatNya) menuju sikap pragmatisme dan disintegrasi sosial, berupa kepentingan semu dan tindak kekerasan atas nama Tuhan.
Sampai akhirnya dalih agama menjadi modus di balik tindak kekerasan. Rangkaian aksi teror bom bunuh diri yang belakangan marak terjadi di beberapa tempat di Indonesia merupakan salah satu bagian dari upaya untuk mendisintegrasikan kekuatan sosial bangsa kita sebagai negara kesatuan yang rukun dan plural dengan mengatasnamakan keyakinan agama berada di atas segalanya. Bukankah hal itu berarti mencederai nilai-nilai agama dan bertolak belakang dari prinsip kemanusiaan?
Bukan suatu hal yang mengagetkan tentunya jika di tingkat masyarakat warga diskusi publik mulai ramai membicarakan isu politik nasional. Kondisi sosial budaya masyarakat yang kian timpang menambah ekses terhadap likuiditas agama di tengah masyarakat untuk mencapai perubahan secara primordial.
Riak politik di setiap lini masa mulai menggema, koalisi partai politik pun mulai bersatu dan menyatakan sikap untuk mengatur rencana. Tak jarang jika kemudian agama ditempatkan dalam ruang praktis-pragmatis demi mencapai tujuan mendapatkan kekuasaan (Will to the Power).
Maka masalah yang kita hadapi lima atau sepuluh tahun kemudian adalah bagian dari sikap politik kita saat ini untuk mencapai sebuah gradasi perubahan yang revolusioner sebagai masyarakat warga yang modern (berkemajuan). Berkaitan dengan sikap politik yang akan kita tentukan menjelang Pemilu 2019 dibutuhkan tekad yang kuat serta orientasi pandangan hidup kita yang lebih luas dan terbuka. Dalam menggapai cita-cita tersebut perlu cara berpikir secara kuantitatif dalam laku hidup kita sehari-hari baik secara individu maupun berkelompok.
Penyesuaian diri manusia Indonesia modern di atas bukanlah hal baru bagi masyarakat kita. Penetrasi kaum nasionalis terhadap agama di tengah-tengah kita sudah berlangsung lama dan sedikit banyak membawa dampak positif maupun negatif pada pembentukan pola pikir masyarakat secara lebih liberatif. Jika demikian, seharusnya kita sudah mampu mengurai enigma permainan para politisi sepanjang tahunnya hanya demi mencapai kepentingan Will to the Power daripada pembangunan mutu masyarakat warga yang lebih baik.
Krisis yang kita hadapi saat ini teranglah bersumber pada faktor internal, berupa budaya berpikir dan persepsi kita masing-masing. Inilah dunia kita yang harus dihadapi bersama secara sadar, seperti disampaikan oleh Karlina Supelli dalam bukunya berjudul Dari Kosmologi ke Dialog menunjuk arah gerak sejarah kita memasuki the Age of Faith ke Zaman Nalar (the Age of Reason) menuju Zaman Penafsiran (the Age of Interpretaition).
Kini kita benar-benar berada dalam zaman ketiga, di mana segala sesuatunya merupakan hasil interpretasi belaka. Masalah muncul ketika penafsiran terhadap realitas secara tunggal dianggap final, serta memandang yang lain salah. Inilah masa dimana kita sedang berada dalam proses pendangkalan akal budi kita saat terjadi pembenaran atas satu penafsiran dan berlaku kekerasan untuk menindas apa pun yang dianggap berbeda.
Hal itu terjadi karena kita secara tidak sadar sedang berada dalam masa transisi menuju zaman interpretasi yang multi tafsir. Pada akhirnya, untuk mencapai sebuah fase perubahan sosial politik menjelang Pemilu 2019 sudahkah maju akal budi kita?